Ujian Nasional (UN) sebagai sarana untuk mengukur keberhasilan pendidikan di Tanah
Air, terus memperoleh dukungan dari berbagai pihak disamping kritikan
dari sementara pihak. Contoh dukungan diantaranya datang dari tokoh
nasional Mantan Presiden RI Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla yang menurut
pengamatan kami selalu tak kenal lelah dan kritik selalu berkomitmen
mendukung keberadaan Ujian Nasional (Unas). Bahkan ketika beliau masih
menjabat Wapres, terus mendukung dengan menggulirkan gagasan-gagasan
cerdas diantaranya dengan ide menaikkan standar kelulusan UN secara
bertahap dengan mencontohkan pelaksanaan UN di sejumlah negara tetangga,
termasuk negeri Jiran Malaysia.
Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla sebagai
salah satu pemangku pendidikan yang mengikuti Konvensi Ujian Nasional
(UN) akhir September turut memformulasikan model penyelenggaraan UN yang
relibel, transparan, dan akuntabel. Bahkan beliau tampil sebagai
pembicara kunci pada konvensi UN. Menurutnya kehadiran peserta konvensi
memiliki tujuan yang sama yaitu untuk mencerdaskan bangsa. Kemajuan
suatu bangsa, dapat dijalankan apabila mempunyai nilai tambah dan kultur
yang dikembangkan. Pondasi dasarnya adalah pendidikan yang baik.
Dukungan juga datang dari Pakar
pendidikan Prof. DR. H. Arief Rachman, M.Pd, pakar pendidikan yang turut
menyetujui adanya standar nasional. Arief mengatakan, selama beberapa
tahun penyelenggaraannya, UN telah banyak mengalami perbaikan. Dia
menganggap pemerintah telah mengakomodir pertimbangan kondisi di daerah
dan keadaan guru yang sangat berbeda-beda. “ Itu sebabnya ia menganggap
ujian nasional ini penting dan perlu. Beliau tetap mendukung UN tetap
dilaksanakan dengan alasan:
Pertama, secara politis, untuk
menyatukan kekuatan para murid, para guru, dan semua insan pendidikan di
dalam suatu suasana NKRI, yang menegakkan kebersamaan dan kedaulatan
RI.
Kedua, secara filosofis dan akademis tidak ada jenjang pendidikan yang tidak diselesaikan dengan sebuah evaluasi.
Kepala Pusat Informasi dan Humas
Kemdikbud, Ibnu Hamad dalam tulisannya menyampaikan bahwa Konvensi Ujian
Nasional (UN) telah usai dilaksanakan oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemdikbud) dari tanggal 26 sampai dengan 27 September 2013.
Konvensi berhasil menyepakati bahwa UN tetap dilaksanakan, sebagai
pelaksanaan satu dari dari 8 (delapan) standar pendidikan nasional,
yaitu standar evaluasi. Para peserta juga sepakat bahwa penyelenggaraan
UN harus kredibel, reliabel, dan akuntabel.
Memenuhi Semua Aspirasi
Konvensi itu sendiri dilakukan guna
mengakhiri kontroversi mengenai UN. Ada kalangan yang menginginkan UN
hanya untuk pemetaan bukan untuk kelulusan. Sementara kalangan lain
menghendaki UN dapat digunakan untuk seleksi masuk ke jenjang pendidikan
yang lebih tinggi, bahkan sebagai dasar untuk meningkatkan kualitas
pendidikan.
Kontroversi itu sepertinya tak ada
ujungnya. Padahal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 tahun 2013 yang
merupakan penyempurnaan atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional Pendidikan, disebutkan bahwa fungsi UN itu ada
empat: (a) untuk pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan; (b)
salah satu penentu kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan
pendidikan; (c) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; dan
(d) bahan pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam
upaya meningkatkan mutu pendidikan.
Dengan demikian, sesungguhnya pasal 68
PP 32/2013 tersebut telah merangkum semua aspirasi publik, baik kalangan
yang menginginkan UN sebagai alat pemetaan, untuk kelulusan, untuk
seleksi masuk ke jenjang pendidikan berikutnya, maupun sebagai dasar
untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Pada dasarnya keempat fungsi itu juga
merupakan satu kesatuan karena bersifat saling melengkapi. Lazimnya,
yang namanya ujian apapun namanya tentu selalu dikaitkan dengan isu
kelulusan. Kalau hanya untuk pemetaan, namanya pasti bukan ujian
melainkan sensus atau survey. Sebaliknya, data untuk menentukan
kelulusan dapat digunakan untuk pemetaan bahkan sebagai dasar seleksi
masuk ke jenjang pendidikan di atasnya. Tentu saja data untuk kelulusan
juga bisa dipakai sebagai bahan pengambilan keputusan untuk melakukan
intervensi peningkatan mutu pendidikan.
UN dan Mutu Pendidikan
Di tengah-tengah kontroversi itu ada
yang menyatakan bahwa UN tidak berhubungan dengan peningkatan mutu
pendidikan. Sudah bertahun-tahun dilaksanakan UN, tapi mutu pendidikan
kita selalu kalah dari negara-negara lain. Jadi mengapa harus ada UN?
Awam pun tahu, UN-nya sendiri pasti
tidak akan meningkatkan mutu pendidikan. UN seperti jenis evaluasi
lainnya tidak langsung meningkatkan mutu. Tapi dari UN, dan jenis
evaluasi lainnya, kita bisa melihat atau mengetahui kualitas pendidikan.
Dari hasil evaluasi, kita selanjutnya dapat menentukan tindakan apa
yang mesti dilakukan untuk meningkatkan kualitas pendidikan: apakah isi
pembelajarannya yang harus diperbaiki; prosesnya; kompetensi lulusannya;
pendidik dan tenaga kependidikannya; sarana dan prasarananya;
pengelolaannya; ataukah pembiayaannya.
Lagi pula, darimana kita tahu bahwa mutu
pendidikan kita selalu kalah dari negara-negara lain? Dari hasil UN
itulah kita dapat membandingkannya. Sebagai contoh, UN tahun 2012,
dengan komposisi soal mudah 10%, sedang 80%, dan sukar 10%, dengan nilai
rata-rata 5,5 sebagai syarat lulus, tingkat kelulusan UN kita mencapai
99,50%. Sementara, tahun 2013, dengan komposisi soal mudah 10%, sedang
70%, dan sukar 20%, dengan nilai rata-rata masih tetap 5,5 sebagai
syarat lulus, tingkat kelulusan UN kita menurun sedikit 99,48%.
Tampak di sana, ada penurunan sebesar
0,02% ketika ditambah 10% soal yang sukar. Bagaimana jika komposisi soal
dirubah, katakanlah yang mudah 10%, sedang 40%, dan sukar 50%, dengan
nilai rata-rata tetap 5,5 sebagai syarat lulus. Bagaimana pula andaikan
komposisi soalnya 50% sedang dan 50% sukar, dengan nilai rata-rata
tetap 7 sebagai syarat lulus?
Masalahnya di sini bukan pada tingkat
kelulusan yang menurun jika soal yang sukarnya ditambah; melainkan pada
kemampuan para peserta UN mengerjakan soal-soal sukar tersebut. Sebab,
berkaca pada negara-negara yang disebut tinggi mutu pendidikannya,
kemampuan peserta didik dalam mengerjakan soal-soal yang sukar cenderung
tinggi. Sebaliknya, negara-negara yang disebut rendah mutu
pendidikannya, kecenderungan peserta didiknya hanya mempu mengerjakan
soal-soal yang mudah bahkan di bawahnya lagi (Lihat pula Gambar 1 di
bawah ini).
Lantas, seperti apakah mutu peserta
didik kita berdasarkan penguasaanya pada setiap mata pelajaran. Analisis
terhadap hasil UN 2013 dalam bidang Ilmu Pengetahuan Alam (IPA)
menunjukkan kemampuan yang belum terlalu tinggi, seperti tampak dalam
Gambar 2.
Hasil yang relatif sama juga berlaku
pada analisis terhadap hasil UN 2013 dalam bidang Ilmu Pengetahuan
Sosial (IPS) seperti ditunjukkan oleh Gambar 3.
Kita (tidak) dapat membayangkan, seperti
apa rupa dua gambar kompetensi di atas, seandainya komposisi soalnya
bukan formula mudah 10%, sedang 70%, dan sukar 20% seperti yang dipakai
dalam UN 2013. Bagaimana jika soalnya separuh sedang separuh mudah atau
malahan seluruhnya sukar? Karenanya, UN bukan hanya perlu untuk
pemetaan, akan tetapi lebih penting lagi sebagai dasar bagi pengambilan
kebijakan untuk perbaikan mutu pendidikan.
Dari Kelulusan ke Indeks Kompetensi
Oleh sebab itu pula, pada tahun-tahun
mendatang, isu mendasar dalam UN tidak lagi pada kelulusan akan tetapi
pada indeks kompetensi sekolah bahkan kompetensi masing-masing mata
pelajaran yang di-UN-kan. Boleh saja kelulusan UN sebuah sekolah
mencapai 100%. Bahkan boleh saja nilai rata-rata UN-nya di atas
rata-rata nasional. Tetapi, bagaimana dengan indeks kompetensi setiap
mata pelajarannya?
Sebagai ilustrasi, saya gunakan hasil
analisis sembilan kompetensi mata pelajaran sosiologi pada SMAN 1 Babat,
Kab. Lamongan, pada UN 2013. Baik diketahui, dalam UN 2013 SMAN 1
Lamongan menduduki peringkat tertinggi di tingkat nasional. Nilai akhir
UN-nya melebihi rata-rata nasional. Namun, seperti apakah penguasaan
para peserta didik terhadap kompetensi mata pelajarannya. Dalam Gambar 4
berikut, kami contohkan analisis kompetensi mata pelajaran Sosiologi di
sekolah ini.
Dengan diperolehnya data sepeti tampak
dalam Gambar 4 tersebut, disimpulkan SMAN 1 Babat Lamongan adalah salah
satu contoh SMA yang capaian kompetensi sekolahnya relatif tinggi
berdasarkan hasil UN. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya adalah seluruh guru mapel yang diUNkan telah bersertifikasi,
dan sekolah tersebut memiliki lab yang lengkap, seperti lab. bahasa,
lab. biologi, lab. kimia, dan lab. Komputer. Sedangkan untuk
rekomendasinya adalah pemerintah daerah dapat menggunakan sekolah ini
sebagai sekolah percontohan bagi peningkatan mutu sekolah khususnya di
Provinsi Jawa Timur.
Sebagai akibatnya jika tak ada UN kita
tidak bisa membandingkan kualitas pendidikan dengan di negara lain, baik
yang komposisi soal mudahnya lebih banyak dan syarat kelulusannya yang
lebih rendah maupun dengan negara yang komposisi soal lebih sukarnya
yang banyak dan syarat kelulusannya yang lebih tinggi dari negara kita.
Untuk ilustrasi sekolah yang peringkat
UN-nya di bawah rata-rata nasional kita ambil SMAS PGRI 28 Lubuk Pakam,
Kab. Deli Serdang. Dari sembilan kompetensi pada Mapel matematika
Program IPS, SMAS PGRI 28 Lubuk Pakam, Kab. Deli Serdang, Prov. Sumatera
Utara, kompetensinya masih dibawah capaian Nasional, bahkan Provinsi
Sumatera Utara.
Untuk SMAS PGRI 28 disimpulkan merupakan
salah satu contoh sekolah yang kompetensinya relatif rendah, yaitu pada
mata pelajaran Bahasa Indonesia IPA/IPS, Matematika IPA, Fisika, Kimia,
Biologi, Ekonomi, Sosiologi, dan Geografi. Kondisi ini terjadi antara
lain disebabkan jumlah guru tidak sebanding dengan jumlah rombongan
belajar (46), serta guru mata pelajaran yang di UN kan belum lengkap.
Kepada SMAS ini direkomendasi untuk
meningkatkan jumlah guru agar sebanding dengan rombongan belajar, serta
melengkapi jumlah guru mata pelajaran yang di UN kan, melengkapi sarana
dan prasarana laboratorium, serta mengikutsertakan guru dalam berbagai
pelatihan terkait peningkatan kompetensi Bahasa Indonesia IPA/IPS,
Matematika IPA, Fisika, Kimia, Biologi, Ekonomi, Sosiologi, dan
Geografi.
Data sebagai Dasar Kebijakan
Sudah semestinya Badan Penelitian dan
Pengembangan (Balitbang) Kemdikbud memiliki analisis kompetensi setiap
sekolah bahkan setiap mata pelajaran. Kita semua berhak untuk
mengaksesnya. Berdasarkan data ini, setiap pihak terutama sekolah yang
bersangkutan terlebih guru-guru mata pelajaran yang di-UN-kan khususnya
dapat berkaca untuk memperbaiki diri guna meningkatkan mutu pendidikan.
Para pemangku kepentingan pendidikan
dapat menjadikan data tersebut dalam pengambilan kebijakan sesuai dengan
skala prioritas yang ditunjukkan oleh hasil analisis. Dengan berbasis
pada data lapangan, intervensi yang dilakukan niscaya lebih efektif dan
efisien. Perlu ditambahkan di sini bahwa sekolah-sekolah yang UN-nya
jujur merupakan pihak yang beruntung: karena diagnosanya tepat, maka
resepnya pun akan tepat. Sebaliknya, sekolah-sekolah yang UN-nya tidak
jujur akan mengalami kurugian karena tidak menunjukkan masalah yang
sebenarnya sehingga intervensi kebijakannya pun tidak akan tepat.
Sedangkan untuk pihak-pihak yang
sementara ini keberatan dengan UN dapat pula memanfaatkan data tersebut
untuk memonitor upaya peningkatan mutu pendidikan. Ketimbang
mempermasalahkan aspek legal –yang dianggap telah final oleh
Kemdikbud—lebih baik mereka menjadikan data hasil analisis UN sebelumnya
sebagai bahan perbandingan terhadap analisis UN berikutnya:
langkah-langkah perbaikan apakah yang telah ditempuh di antara dua UN
dan bagaimanakah outcome-nya? Dengan cara seperti itu, insya Allah akan
bermanfaat.
Sebuah ulasan yang proporsional dari
Prof. Dr. Ibnu Hamad, M.Si. yang membuat kita sampai pada suatu
kesimpulan bahwa UN tahun depan tetap diselenggarakan dengan upaya-upaya
agar penyelenggaraanya bisa lebih baik lagi. Adapun butir-butir hasil
rumusan akan dimasukkan ke dalam prosedur operasional standar (POS) UN.
Kami sepakat pada apa yang diungkapkan
Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Bidang Pendidikan Musliar Kasim,
jika negara ini ingin maju harus ada ujian yang mengukur standar
nasional itu sendiri. Tegasnya di Indonesia perlu ada ujian yang
mengukur kompetensi peserta didik di akhir masa belajar di satuan
pendidikan. Sebagai info bahwa Konvensi juga menyepakati untuk tetap
melaksanakan Ujian Nasional pada tahun 2014 dengan komposisi (UN:Nilai
Sekolah) 60:40. Semoga ujian nasional tahun 2014 bisa lebih baik lagi, lebih kredibel, reliabel, dan akuntabel. Amin Ya Allah Ya Rabbal Alamin!
0 komentar:
Posting Komentar